Minggu, 21 Oktober 2012 | By: Hasan

Permasalahan Outsourching Di Indonesia

Unjuk rasa yang terjadi tanggal 3 Oktober  yang melibatkan ratusan ribu buruh, mengakibatkan tujuh kawasan industri di Bekasi, Jawa Barat, lumpuh. Aksi buruh ini juga terjadi serentak di berbagai daerah.  Sejumlah pabrik di Bekasi tidak bisa beroperasi karena karyawan mereka bergabung dalam aksi.

Demostrasi mengenai outsourcing ini bukan yang pertama kali. Tuntutan para buruh tersebut masih sama dengan aksi-aksi sebelumnya. Mereka utamanya menghendaki agar segera dihapuskan sistem alih daya (outsourcing) atau aturan kerja kontrak yang masih diterapkan sejumlah perusahaan. Mereka menilai pemerintah selama ini setengah hati merealisasi regulasi yang berpihak kepada buruh, terutama terkait dengan penghapusan outsourcing dan penolakan upah murah.

Draf peraturan baru yang mempertegas undang-undang penghapusan aturan outsourcing dinilai masih kurang mengakomodasi keinginan buruh sehingga demonstrasi akan tetap dilakukan.

Istilah Outsourcing cukup populer dalam masyarakat apalagi dengan banyaknya demonstrasi menentang outsourcing, sudah cukup sering dijadikan bahan kajian dan penelitian oleh para akademisi. Outsourcing (alih daya) diartikan sebagai pemindahan atau pendelegasian beberapa proses bisnis kepada suatu badan penyedia jasa, di mana badan penyedia jasa melakukan proses administrasi dan manajemen berdasarkan definisi serta kriteria yang telah disepakati oleh para pihak. Supaya perusahaan tetap dapat melakukan kegiatan produksinya secara fokus tanpa perlu memikirkan lagi mengenai tenaga kerjanya maka perusahaan melakukan outsourcing.

Akan tetapi bila dilihat hubungan kerja melalui outsourcing ini dapat dikatakan sebagai upaya menyiasati hukum, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang baru secara implicit tidak membenarkan hubungan kerja seperti itu untuk pekerjaan yang sifatnya permanent atau terus menerus dan hanya dibenarkan untuk pekerjaan tertentu serta dengan jangka waktu yang tidak lebih lama dari yang ditentukan Undang-Undang. Hal inilah yang menimbulkan permasalahan sehingga menimbulkan demonstrasi.

Timbulnya outsourcing diawali dengan adanya prinsip-prinsip outsourcing yang telah dijalankan sejak dahulu kala. Pada saat itu bangsa Yunani dan Romawi menyewa prajurit asing untuk bertempur pada peperangan mereka serta menyewa ahli bangunan untuk membangun kota beserta istana.

Dengan perkembangan sosial yang ada, prinsip outsourcing mulai diterapkan dalam dunia usaha. Selanjutnya pada tahun 1970 dan 1980, perusahaan berusaha dalam persaingan global, tetapi mengalami kesulitan karena kurangnya persiapan akibat struktur manajemen yang membengkak. Akibatnya, risiko usaha dalam segala hal, termasuk risiko ketenagakerjaan pun meningkat.

Pengaturan dan Masalah seputar Outsourcing
Istilah outsourcing tidak ditemukan secara eksplisit/langsung dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 hanya dikatakan “Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa / buruh yang dibuat secara tertulis”.

Juga dalam peraturan pelaksananya digunakan dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor : KEP. 220 / MEN/ X/ 2004 tentang Syarat-syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain.

Berdasarkan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, disebut dengan perjanjian pemborongan pekerjaan dapat diartikan kedalam dua kriteria bagian, yaitu : penyerahan suatu pekerjaan oleh suatu perusahaan kepada perusahaan lain untuk dikerjakan ditempat di perusahaan lain dan penyediaan jasa pekerja oleh perusahaan penyedia jasa pekerja, yang diperkerjakan pada perusahaan lain yang membutuhkan.

Kriteria yang kedua yaitu penggunaan jasa perseorangan inilah yang dikenal dengan sebutan tenaga kerja outsourcing. Perjanjian outsourcing berbeda dengan perjanjian kerja biasa yang hanya melibatkan para pihak, yaitu pengusaha dan pekerja. Perjanjian outsourcing melibatkan 3 (tiga) pihak yaitu pihak pekerja, pihak perekrut pekerja (perusahaan jasa outsorcing), dan pihak pemberi kerja.

Dalam perjanjian outsourcing mengenai hal penggunaan jasa pekerja perseorangan, penandatanganan kontrak kerja akan dilakukan antara pekerja dengan perusahaan yang merekrut/melatih tenaga kerja. Dengan demikian hubungan antara majikan dan pekerja, hanya tercipta antara pekerja dengan perusahaan yang merekrut pekerja dan bukan dengan perusahaan tempat pekerja melakukan pekerjaannya.

Permasalahan mengenai outsourcing sudah merupakan hal yang sangat urgent untuk mendapatkan perhatian dan penyelesaian dari pemerintah. Karena sebagai negara hukum modern dengan corak negara “Welfare State”, dimana suatu negara yang mengutamakan kepentingan seluruh rakyat dan sistem ekonomi lebih dipimpin oleh pemerintah pusat (centraal geleide ekonomie), sudah seharusnya Pemerintah ikut campur dalam segala lapangan kehidupan masyarakat (Bachsan Mustafa, 2001: 8).

Pemerintah dalam hal ini diwakili oleh Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) mengatakan akan segera merevisi UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, khususnya Pasal 64, 65 dan 66 yang mengatur perjanjian antara perusahaan outsourching dengan pihak perusahaan pemberi kerja dan meminta waktu transisi setahun untuk penerapan regulasi baru tentang outsourcing.

Tetapi yang menjadi permasalahan apakah buruh/pekerja cukup sabar menunggu waktu 1 (satu) tahun. Karena sebetulnya masalah utama yang terjadi adalah kurang patuh terhadap hukum dan lemahnya penegakan hukum kita yang harus kita akui bersama belum sepenuhnya berpihak pada masyarakat. Peranan hukum adalah untuk melindungi, mengatur dan merencanakan kehidupan ekonomi sehingga dinamika kegiatan ekonomi itu dapat diarahkan kepada kemajuan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat (Gunarto Suhardi, 2002: 12).

Seandainya pemerintah tidak serius segera menyelesaikan kemelut ini, maka tidak ayal kita akan melihat aksi-aksi serupa pada masa yang akan datang. Dampak yang ditimbulkan bukan hanya industri akan mengalami kerugian akibat mogok kerja tetapi jangka panjang, akan mempengaruhi iklim investasi asing di Indonesia yang tentu saja akan berakibat kepada perekonomian secara makro.

Referensi Terkait
http://www.metrosiantar.com/2012/outsourcing-masalah-yang-belum-tuntas/

0 komentar:

Posting Komentar