Minggu, 21 Oktober 2012 | By: Hasan

Kasus KPK vs POLRI


Cerita antara Polri dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seolah belum akan usai. Setelah beberapa waktu lalu, KPK dipusingkan oleh penarikan ke-20 personel penyidik Polri yang ditugaskan di KPK, kini permasalahan baru muncul. Skala ketegangan antara KPK dan Polri kali ini kembali meningkat ketika polisi dari Polda Bengkulu hendak menangkap salah satu penyidik Polri yang bertugas di KPK Novel Baswedan hari Jumat lalu di Gedung KPK. Polisi membawa surat penangkapan Novel yang disangka terlibat perkara dugaan penganiayaan berat terhadap tersangka pencurian burung walet ketika dirinya menjadi Kasat Reskrim di Polda Bengkulu pada tahun 2004.

Kasus ini sempat menimbulkan pertanyaan dibeberapa kalangan. Salah satunya dating dari Anggota Komisi III DPR dari PKS, Indra SH, yang menyebut penangkapan Novel atas perkara tahun 2004 sangat ganjil. Kasus tersebut sudah terjadi sekitar 8 tahun silam dan baru saat ini dipersoalkan. Sementara Indonesian Police Watch (IPW) menilai aksi penyerbuan dan pengepungan yang dilakukan polisi ke KPK untuk menangkap penyidik yang juga Ketua Tim Penyidikan dugaan korupsi simulator SIM, Novel Bawesdan, merupakan penghinaan terhadap institusi negara. Dukungan pun terus mengalir terhadap KPK.

BELAKANGAN ini berita mengenai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) versus Kepolisian Republik Indonesia (Polri) ramai diberitakan, sampai akhirnya Presiden Susilo Bambang Yudhyono (SBY) bertindak tegas atas perseteruan kedua lembaga penegak hukum ini. SBY memerintahkan Polri untuk menyerahkan sepenuhnya penanganan kasus hukum dugaan korupsi simulator mengemudi di Korps Lalu Lintas Polri kepada KPK.

Kasus ini bermula ketika KPK menangkap Gubernur Akademisi Polri Irjen Djoko Susilo dan beberapa petinggi Polri lainnya pada 27 Juli lalu. Djoko Susilo diduga telah melakukan korupsi pada kasus simulator SIM yang menyebabkan kerugian puluhan miliiar rupiah bagi negara. Setelah Djoko diperiksa oleh KPK, Polri melakukan serangan balik terhadap KPK dengan mencoba menangkap salah seorang penyidik KPK, Kompol Novel Baswedan, dengan tuduhan terlibat kasus penganiayaan delapan tahun lalu.

Perseteruan antara kedua lembaga penegak hukum semakin menambah daftar masalah di negeri ini. Seharusnya kedua lembaga ini saling bekerjasama dalam pemberantasan kasus korupsi, bukannya malah saling berseteru. Belum lagi KPK mendapat tekanan dari sejumlah anggota DPR yang sepertinya ingin melemahkan kewenangan KPK lewat revisi UU KPK Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Banyak pihak menduga revisi UU ini justru akan semakin melemahkan kewenangan KPK dalam memberantas korupsi.

Masyarakat sepertinya harus kecewa lagi. Harapan terselesaiannya masalah  korupsi di negeri ini masih sulit terwujud, setidaknya dalam waktu dekat ini. Hal itu dikarenakan beberapa faktor: Pertama, sistem sekulerisme dengan akidah pemisahan agama dari negara dan kehidupan, menyebabkan nilai-nilai ketakwaan hilang dari politik dan pemerintahan. Kedua, sistem politik demokrasi yang mahal menjadi salah satu sumber masalah korupsi. Ketiga, korupsi telah begitu berurat berakar, sementara sistem pengendalian begitu lemah. Keempat, dalam sistem politik yang ada, agenda pemberantasan korupsi tersandera oleh berbagai kepentingan kelompok, partai, politisi, cukong, bahkan kepentingan koruptor. Kelima, sering terjadi ketidakpaduan antarlembaga dan aparat. Keenam, sistem hukum berbelit untuk membuktikan kasus korupsi dan banyak celah bagi koruptor untuk lolos.

Harapan bebas dari korupsi hanya bisa jika pemberantasan korupsi dilakukan menggunakan sistem lain, sebab sistem yang ada justru menjadi faktor muncul dan langgengnya korupsi. Sistem yang bisa diharapkan itu tidak lain adalah syariah Islam. Hal itu mengingat: pertama, dasar akidah Islam melahirkan kesadaran senantiasa diawasi oleh Allah dan melahirkan ketakwaan pada diri politisi, pejabat, aparat, pegawai dan masyarakat.

Kedua, sistem politik Islam termasuk dalam hal pemilihan pejabat dan kepala daerah, tidak mahal. Ketiga, politisi dan proses politik, kekuasaan dan pemerintahan tidak bergantung dan tak tersandera oleh parpol. Keempat, struktur dalam sistem Islam semuanya berada dalam satu kepemimpinan khalifah, sehingga ketakpaduan antarinstansi dan lembaga bisa diminimalisasi, bahkan tidak terjadi. Kelima, andai praktik korupsi, bisa diberantas dengan sistem hukum syariah. Bahkan, korupsi pun bisa dicegah agar tak terjadi.

Pemberantasan korupsi dalam sistem sekarang akan terus menjadi mimpi. Mimpi itu bisa diwujudkan dengan penerapan syariah secara total dan menyeluruh. Insya Allah, awan mendung yang selama ini menyelimuti pemberantasan korupsi akan sirna berganti cahaya keadilan Islam bagi semua baik muslim maupun nonmuslim.


Referensi Terkait
http://kampus.okezone.com/read/2012/10/18/367/705676/kpk-vs-polri-jilid-ii

0 komentar:

Posting Komentar