Sejak awal kehadirannya, rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) telah banyak menimbulkan pro dan kontra. Gagasan program RSBI ini tidak jauh berbeda dengan penyelenggaraan kelas-kelas unggulan yang telah berjalan sebelumnya. Selama ini keberadaan RSBI menjadi sorotan banyak pihak, termasuk menteri pendidikan nasional (Mendiknas) bersikukuh untuk mengevaluasinya. BERBAGAI pertanyaan mendasar dan bernada menggugat pun bermunculan. Di antaranya apakah sekolah yang ditunjuk (baca : mencalonkan diri) menjadi RSBI benar-benar sudah siap? Masyarakat khawatir jika RSBI nantinya malah membuat pengastaan antara yang kaya dan miskin. Sebab, diyakini RSBI perlu ditunjang dengan berbagai macam fasilitas dan sarana prasarana pendukung yang biayanya dibebankan kepada siswa.
Apa yang dikhawatirkan masyarakat bukan isapan jempol. Terbukti di sana-sini terjadi pungutan besar-besaran yang dibebankan kepada siswa. RSBI telah berperilaku primordial meski Mendiknas telah memberi warning agar hal tersebut tidak dilakukan. Beberapa hal yang menjadi perhatian masyarakat ialah proses rekrutmen siswa, akuntabilitas keuangan, prestasi akademik, dan persyaratan dasar RSBI.
Jika kita boleh bicara jujur, dari hasil pemantauan selama ini terkesan perjalanan RSBI terlalu ’’dipaksakan’’ atau lebih ekstremnya diaborsi. Kenyataannya antara harapan dan realitas justru terbalik. Indikatornya adalah pertama, kualitas dan pelayanan yang ada belum menunjukkan bahwa sekolah tersebut menuju sekolah bertaraf internasional.
Kedua, parameter kelulusan tes masuknya juga sangat subjektif. Karena unsur wawancara ikut menjadi penentu diterima atau tidaknya seorang calon siswa, serta kualitas pewawancaranya apakah (maaf) sudah teruji sebagai pewawancara? Ketiga, program RSBI sebagai embrio sekolah bertaraf internasional (SBI) telah menutup kesempatan bagi anak didik yang memiliki potensi akademis tetapi tidak punya finansial. Oleh sebab itu, sangat tepat apabila pihak pemerintah daerah kabupaten/kota dan Kemendiknas meninjau ulang program RSBI. Sebab, dikhawatirkan menjadi sekolah eksklusif.
Meski dalam peraturan disebutkan RSBI agar menyediakan 20 persen bangku sekolah untuk siswa tidak mampu, kenyataannya jarang ada siswa tak mampu bersekolah di RSBI. Setiap orang tua sesungguhnya menginginkan untuk bisa memasukkan anaknya ke RSBI. Dengan a;asan fasilitas yang lebih baik dan mungkin tenaga pengajar lebih kompeten.
Ketika mereka harus membayar lebih mahal daripada sekolah reguler, pupuslah peluang bagi masyarakat yang berpenghasilan pas-pasan. Akhirnya, RSBI menjadi sekolahnya kaum berada dan mungkin dapat mematikan hati dan rasa sosial murid-muridnya. Sebab, mereka hanya bergaul dengan teman-teman sekasta. Maka yang terjadi kemudian adalah kapitalisasi pendidikan. Ada baiknya pemerintah lebih fokus pada upaya menciptakan sekolah bertaraf nasional secara merata. Sehingga, tidak ada perbedaan yang mencolok antara kualitas pendidikan di wilayah perkotaan dengan pelosok.
Upaya ini hanya dapat terwujud apabila Kemendiknas mampu untuk memberikan perlindungan bagi para guru dan kepala sekolah agar terbebas dari politisasi kepala daerah. Kemendiknas harus berani mengambil alih kewenangan daerah dalam melakukan mutasi bagi kepala sekolah dari TK sampai SMA/SMK.
Landasan hukumnya sudah ada. Yakni Permendiknas RI No. 28/2010 tentang Penugasan Guru menjadi Kepala Sekolah. Untuk mengganti jabatan kepala sekolah, pemda harus mendaftarkan calon kepala sekolah minimal 2 tahun sebelum mutasi dilakukan. Yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa peraturan tersebut menjadi mandul? Nyatanya mutasi terhadap guru dan kepala sekolah terus saja berlangsung di daerah tanpa ada sanksi apapun dari Kemendiknas. Bila hal ini terus dibiarkan, jangan harap pemerataan pendidikan dapat terwujud. Sebab, kepala sekolah sebagai pimpinan lembaga pendidikan tidak dapat melaksanakan tugasnya dengan tenang. Hal yang tidak kalah penting, Pemerintah harus mengalokasikan anggaran untuk memperbaiki fasilitas sekolah, melancarkan pembayaran sertifikasi guru yang masih tersendat-sendat, memperbaiki kurikulum yang dirasakan sangat berat, dan mengevaluasi penyelenggaraan UN yang masih saja menyisakan pro-kontra setiap tahunnya.
Memang, semua paham bahwa pendidikan yang baik memerlukan biaya mahal. Namun, biaya yang mahal ini seharusnya menjadi tanggung jawab negara. sebab, negara bertanggung jawab menyelenggarakan pendidikan bagi warganya agar seluruh rakyat melek huruf dan berpendidikan sehingga mampu bersaing dengan tenaga-tenaga profesional dari manca negara. Sistem pendidikan yang menutup kesempatan bagi orang tidak mampu untuk bersekolah di tempat yang baik hanya akan melahirkan bangsa kuli. Sementara biaya pendidikan yang semakin mahal, ternyata belum mampu menghasilkan SDM berkualitas. Hal yang memprihatinkan, dari tahun ke tahun tampaknya kualitas SDM kita tidak menunjukkan perbaikan yang berarti ditinjau dari peringkat human development index (HDI) yang dikeluarkan oleh UNDP.
Sangat penting bahwa urusan yang menyangkut peningkatan mutu SDM menjadi tanggung jawab penuh pemerintah pusat. Ini berarti kebijakan dan evaluasi penyelenggaraan pendidikan kendalinya harus tetap pada pemerintah pusat. Masyarakat menunggu langkah konkret Kemendiknas dalam upaya untuk melakukan evaluasi terhadap persoalan pendidikan yang selalu dikeluhkan masyarakat. Ini berarti Mendiknas harus segera membentuk tim independen untuk menilai keberadaan RSBI, kelas akselerasi, penyelenggaraan UN, bahkan tes masuk perguruan tinggi yang sampai kini masih membingungkan masyarakat. Apabila pemerintah menganggap bahwa RSBI/SBI harus ada, mengingat bahwa SBI merupakan amanat Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20/2003 yang wajib dilaksanakan, hendaknya telah disiapkan infrastruktur yang mapan. Seperti gedung sekolah yang representatif dengan berbagai fasilitas yang lengkap dan mutakhir serta bertaraf internasional. Juga kesiapan SDM yang profesional dan tangguh, baik kepala sekolah, guru, tenaga tata usaha, komputer, laboran, pustakawan dan penguasaan ICT.
Bahasa Pengantar
Selama ini pendidikan pada RSBI dan SBI sangat sering diartikan sebagai sekolah yang harus menerapkan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Padahal, pada tingkat sekolah dasar, penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar sangat berbahaya. Paling tidak inilah hasil penelitian Hywel Coleman, peneliti senior bidang pendidikan keguruan di University of Leeds, Inggris. Hasil penelitiannya sangat relevan dengan polemik yang mengiringi perjalanan sekolah-sekolah negeri di Indonesia yang berstatus RSBI dan SBI. Idealnya menurut Hywel, anak harus melek huruf atau belajar membaca dan menulis melalui bahasa ibunya dulu, baru kemudian diperkuat dengan bahasa Inggris. Jika anak tidak diberi kesempatan untuk menguasai konsep-konsep dasar melalui bahasa ibu di tingkat SD, dampak negatifnya akan terasa pada keberhasilannya dalam proses pendidikan selanjutnya. Hywel mengambil sampel penelitian di sekolah-sekolah negeri bertaraf internasional yang menggunakan konsep pengajaran bilingual (dwi bahasa) seperti di Korea Selatan, Thailand dan Indonesia. Dan yang ironis dan menyedihkan menurut Hywel bahwa di Indonesia tingkat bahayanya paling tinggi.
Korea Selatan misalnya, diperoleh fakta bahwa 100 persen keberhasilan anak belajar dilakukan melalui bahasa ibunya. Sementara di Thailand, keberhasilannya mencapai angka sampai 50 persen. Indonesia menjadi negara terendah karena hanya mencapai angka 10 persen. Bagi sekolah-sekolah negeri yang menggunakan label internasional, tentu tidak bisa seenaknya menggunakan metode bilingual tanpa dukungan kurikulum dan metode pengajaran yang tepat. Memang, yang kita harapkan dari lulusan SBI adalah menguasai kemampuan kunci-kunci global namun harus tetap berjati diri dan berbudaya Indonesia. Kita semua berharap semoga Pemerintah dapat lebih bijaksana dalam menyikapi masalah RSBI dan SBI, karena menyangkut pendidikan calon pemimpin bangsa di masa depan.